Home

Wabah Corona Terindikasi Jadi Ladang Bisnis, Presiden Harus Tahu Ini

Senin, 15/06/2020 - 03:34:23 WIB

JAKARTA - Ditengah kesulitan masyarakat untuk bertahan dalam menghadapi pandemi/wabah corona. Kuat dugaan bahwa pandemi Covid-19 menjadi ladang bisnis menggiurkan dan bahkan menjadi ajang kesempatan mencari keuntungan bagi pihak-pihak yang punya peluang.

Kami merasa terpanggil untuk mempublikasikan keluhan-keluhan masyarakat selama ini. Contohnya ada yang meninggal dirumah sakit dan dikebumikan dengan protokol Covid. Namun setelah hasil sweb nya diketahui negatif. Begitu juga pasien yang mengeluh maag  namun di RS di perlakukan protokol Covid, Apakah ini menjadi kesempatan untuk mencari keuntungan?

Begitu juga saat ini masyarakat yang butuh surat keterangan bebas covid-19 sebagai persyaratan terbang dengan pesawat udara, biaya rapid tes sampai 350.000 dan sweb 1.700.000. Apakah ini juga menjadi ladang bisnis ditengah pandemi...???

Kami juga tertarik mempbulikasikan sebuah tulisan dari Founder  media Seword yang terbit tanggal 14/06/2020,dengan judul : "Presiden Harus Tau Kebusukan Gugus Tugas dan Kemenkes" yang menurut kami  layak untuk kita renungkan sebagai berikut:

Sebagai founder Seword, saya menerima banyak keluhan dan permasalahan yang dialami oleh masyarakat umum. Dan semua keluhan-keluhan tersebut bermuara dari masalah penanganan covid oleh pemerintah Indonesia.

Mohon maaf artikel ini mungkin akan menyinggung banyak pihak. Tapi saya rasa penting untuk disampaikan agar kita sama-sama tahu tentang kondisi negara ini.

Beberapa minggu yang lalu, salah seorang keluarga pasien covid di Situbondo meminta bantuan plasma. Karena rumah sakit di sana tidak memungkinkan untuk memproses plasma, karena keterbatasan alat, maka pihak dokter coba menghubungi salah satu RS di Surabaya.

Meminta ijin apakah bisa numpang mengambil plasma. Pihak RS Situbondo sudah siapkan calon donor yang sesuai dengan pasien. Namun jawaban dokter yang baru saja diangkat jadi staf ahli BNPB pusat begitu mengejutkan.

"Sebaiknya jangan menambah beban kami."

Saat itu saya berpikir mungkin di RS Surabaya tersebut sudah kewalahan menampung donor plasma. Karena Seword juga ikut menyebarkan flyer pengumumannya. Jadi maklum dan sabar saja.

Tapi belakangan, muncul berita di media mainstream, bahwa salah satu RS di Surabaya tersebut kesulitan mendapat donor plasma. Sehingga harus dikirim dari RSPAD Jakarta.

Lho? Ini apa-apaan? Di satu sisi bilang jangan nambah beban, di sisi lain ngeluh ga dapet donor plasma. Giliran ada pendonor yang mau datang numpang ambil plasma malah ditolak.

Sampai di sini saya mulai melihat ada unsur kejahatan terstruktur, sistematis dan massif.

Tak lama berselang, muncul kasus atau cerita baru. Masih di RS yang sama di Surabaya. Pasien covid yang mendapat plasma ternyata dibebani tagihan sebesar 3.5 juta rupiah untuk satu bag 100ml.

Saya kaget. Memang plasma itu ada harganya. Meskipun pendonor memberikan gratis, tapi pelayanan dan pengambilan plasma menggunakan alat dan jasa dokter. Harganya 1.3 juta rupiah sudah termasuk Ppn. Lalu kenapa jadi bengkak 3.5 juta rupiah?

Padahal rumah sakit tersebut sudah mendapat bantuan pendanaan dari Binus seharga 50 bag plasma (kalikan saja dengan 1.3 juta rupiah).

Bukan hanya soal harga, rupanya cara pemberiannya pun terikat dengan kontrak Kemenkes. Dalam satu surat perjanjian yang ditandatangani pihak rumah sakit, ada ketentuan bahwa pasien covid hanya boleh diberikan 100ml plasma perhari, selama 3 hari.

Jadi misalkan dokter yang menangani pasien ingin memberikan 200ml dalam sehari, sesuai analisa dan pertimbangan medis, itu tidak bisa dilakukan. Karena dalam surat perjanjian tersebut, ada konsekuensi sanksi atau hukuman bila melanggar aturan Kemenkes.

Padahal dari Kemenristek, boleh diberikan 200ml dalam sehari. Tapi karena plasma mereka dapatkan dari RSPAD, jadi mau tidak mau harus ikut aturan 100ml perhari.

Jadi, selain masalah mark up dengan harga plasma, juga ada masalah di dua kementerian terkait aturan. Sehingga bukan saja menimbulkan pertanyaan, kenapa bisa berbeda padahal dalam satu pemerintahan, tapi juga membuat tenaga medis ragu dalam mengobati pasien covid.

Lebih buruk dari itu, sejatinya baik Kemenkes maupun Kemenristek, nampak tidak punya data. Tidak paham dengan apa yang sudah mereka lakukan, tidak tau hendak melakukan apa lagi keesokan harinya. Jadi mereka hanya bilang ke media, oke kita sedang melakukan terapi plasma. Dan cukup sampai di sana. Tak ada pendampingan untuk menyelesaikan persoalan di lapangan. Bahkan juga nampak hanya seremonial. Tidak serius dalam melaksanakan.

Gugus tugas lain lagi. Pengakuan pihak UNAIR, yang mengklaim telah menemukan obat covid, sejatinya hanyalah meracik atau mengkombinasikan obat-obatan yang sudah ada. Dan inipun masih belum dilakukan clinical trial.

Tapi meskipun belum dilakukan clinical trial, tapi pengadaan dna pengiriman obat obatan ke rumah sakit katanya sudah dilakukan. Sesuai dengan rekomendasi Gugus Tugas. Bahkan katanya sudah diproduksi ratusan ribu.

Ini aneh! Bagaimana obat racikan bisa direkomendasikan langsung oleh Gugus Tugas? Padahal belum clinical trial.

Sementara dengan terapi plasma konvalesen, yang sudah ada clinical trialnya, justru belum ada rekomendasi khusus. Hanya seruan di media agar pasien sembuh mau mendonorkan. Cukup sampai di sana.

Apakah karena plasma ini tidak bisa dibisniskan? Ataukah karena kantong plasma sudah dikuasai oleh Kemenkes dan hanya RSPAD yang boleh menampung plasma?

Jadi kalau saya simpulkan, baik Kemenristek, Kemenkes ataupun Gugus Tugas, semuanya cuma bicara soal proyek dan uang. Bukan bekerja atas nama kemanusiaan, atau demi kebaikan negara ini. Semoga Presiden segera mengetahui hal ini agar mereka ini segera dibubarkan atau diganti dengan orang yang bisa bekerja.*

Editor : Sefianus Zai
Sumber : Seword.Com
Home