Home
 
 
 
 
DAMPAK COVID-19
Ruralisasi, Kapitalisme, Dan Global Community di Tengah Pandemi Corona

Rabu, 17/06/2020 - 10:19:35 WIB


TERKAIT:
   
 
Dampak  ekonomi pandemi Covid-19 tidak pandang bulu menerjang negara maju, berkembang, atau miskin. Negara besar seperti Amerika dan China, misalnya, juga tak berdaya menghadapi terjangan Corona.

Namun di sisi lain, ada juga negara-negara yang secara politik maupun ekonomi tidak diperhitungkan dunia ternyata mampu menghadapi badai pandemi dengan tangguh. Misalnya Belarus, Thailand dan Vietnam.

Ketiga negara ini memiliki satu benang merah karakter yang sama di bidang perekonomian: kuat di sektor pertanian, seperti gandum, padi, perkebunan kopi dan hortikultura sayuran.

Ketiga negara tersebut sama-sama memiliki program yang disebut sebagai ruralisasi. Ruralisasi adalah pergeseran penduduk dari kota ke desa. Artinya, ada penguatan demografis di pedesaan. Penduduk yang kuat di wilayah desa membuat fundamental ekonomi di wilayah rural atau pinggiran juga menjadi kuat.

Ketiga negara di atas berhasil menekan dampak ekonomi karena pandemi karena memilik fundamental perekonomian yang kuat berbasis pertanian dan perkebunan.

Hal yang sama seharusnya terjadi pada Indonesia andai program ruralisasi berjalan baik menjangkau daerah-daerah yang memiliki potensi pertanian dan perkebunan.

Faktanya, kinerja agribisnis dan hortikultura Indonesia belum sepenuhnya kuat.

Indonesia masih mengimpor sayur-mayur yang pada 2019 nilainya mencapai 770 juta dolar AS atau Rp 11,55 triliun dengan nilai kurs Rp 15.000 per dolar AS. Nilai impor buah-buahan pada tahun yang sama malah lebih besar, mencapai mencapai 1,5 miliar dolar AS atau Rp 22, 5 triliun.

Indonesia juga masih mengimpor gula, kendati nilainya turun menjadi 1,4 miliar dolar AS. Impor daging atau setara lembu juga masih besar, mencapai 830 juta dolar AS pada 2019. Bila dijumlahkan dengan impor binatang hidup lain yang bisa dimakan, angka mencapai 1,3 miliar dolar AS.

Fokus Ruralisasi

Karena itu penulis berpendapat, sudah waktunya pemerintah menggeser fokus pembangunan ke program ruralisasi. Prasyarat utama bergulirnya program tersebut, mesti didahului dengan kehendak politik (political will) kuat oleh pemerintah.

Tahapan selanjutnya, pemerintah dapat merevisi seperlunya rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) yang pernah digariskan.

Argumentasinya, sejumlah rencana pembangunan yang sudah dicanangkan mesti diperbaiki maupun dipertajam terutama sektor-sektor yang terdampak dalam atau terpengaruh signifikan karena pandemi Covid-19.

Selain itu, pemerintah perlu mengurangi ruang gerak para mafia perdagangan, mengurangi ego sektoral sejumlah kementerian maupun kelembagaan.

Langkah berikutnya, pemerintah tinggal mengajak kalangan legislatif terkait bidang besaran serta realisasi anggaran yang diperlukan buat mewujudkan program ruraliasasi yang strategis dan berskala nasional.

Kapitalisme Sempoyongan

Dampak pandemi Covid-19 menggoyang pula perekonomian negara sebesar Amerika Serikat dan negara kapitalis lainnya di Eropa. Secara ekonomi, kinerjanya menurun tajam: konsumsi terganggu, investasi terhambat, ekspor-impor terkontraksi dan pertumbuhan ekonomi melambat signifikan.

Bloomberg merilis, ekonomi Amerika Serikat masih tumbuh 3 persen pada kuartal pertama 2018. Tapi begitu diterpa pandemi, pendapatan domestik brutonya (PDB) tinggal 0,3 persenpada kuartal pertama 2020. Pada lima pekan terakhir, pengangguran di AS diklaim meningkat menjadi 26 juta orang.

Beberapa negara Eropa tak jauh beda. Pandemi membuat PDB mereka nyungsep di angka rata-rata minus 3,3 persen di kuartal pertama 2020. Perancis yang di awal kuartal 2018 tumbuh 2,4 persen, menjadi minus 5 persen kuartal pertama 2020.

Tiongkok sebagai negara kapitalisme baru mengalami nasib serupa. Kuartal pertama 2020 PDB negeri tirai bambu ini terjun bebas menjadi minus 6,8 persen. Singapura mengalami kisah yang sama. Pertumbuhan ekonominya minus 2,2 persen di kuartal pertama 2020.

Masih menurut versi Bloomberg, Korsel, Vietnam, dan Indonesia masih menunjukkan kinerja positif. Korsel yang tumbuh 2,8 persen di awal 2018, masih mencatatkan pertumbuhan 1,3 persen di kuartal awal 2020. Vietnam kinclong di 3,8 persen, sementara Indonesia 3 persen di kuartal yang sama setelah pandemi.

Namun, menurut versi BPS, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot jadi 2,9 persen dan menurut BI tinggal 2,3 persen hingga akhir 2020.

Kinerja ekonomi domestik ini selayaknya tetap kita syukuri seraya tetap bekerja keras, menguatkan solidaritas dan gotong-royong dan menghindari perilaku atau sudut pandang negatif via medsos.

Global Community

Sedikit menengok ke belakang, beberapa tahun sebelum pandemi, perekonomian di sebagian kawasan sebenarnya belum menggembirakan. Lihat saja kondisi perekonomian beberapa negara di benua Afrika yang seringkali identik dengan ketertinggalan.

Penilaian seperti ini jelas tidak adil. Karena, hampir dua dekade terakhir negara-negara di Afrika sudah mencoba menuju tata kelola baru masyarakat dunia (New Global Community).

Pemicu perubahan ekonomi di Afrika itu boleh jadi dimulai oleh organisasi Aliansi untuk Revolusi Hijau Afrika (Africa Green Revolution Alliance, AGRA).

Organisasi ini dibentuk pada 2006 sebagai tanggapan atas seruan mantan Sekretaris Jenderal PBB Almarhum Kofi Annan yang mengatakan sudah tiba saatnya bagi para petani Afrika untuk melancarkan "Revolusi Hijau Afrika yang unik."

Sejak awal, AGRA dibentuk untuk menjadi mitra utama bagi pemerintah yang ingin mendorong transformasi pertanian inklusif.

AGRA percaya perlu peran pemerintah untuk mentransformasikan pertanian Afrika. Semua intervensi harus dipandu dan diselaraskan dengan prioritas dan visi pemerintah di sektor pertanian.

AGRA mengadvokasi pendekatan pengiriman terintegrasi lintas rantai nilai melalui ekosistem kemitraan yang mengoordinasikan investasi termasuk sumber daya publik-swasta.

Organisasi ini bekerja sama dengan pemerintah dan mitra di 18 negara untuk membangun sistem dan alat yang diperlukan untuk memajukan transformasi pertanian inklusif.

Hasilnya, lebih dari 15 juta keluarga petani sekarang memiliki akses ke input, pelatihan, pembiayaan, dan pasar, yang memungkinkan mereka memanfaatkan pertanian untuk menghasilkan kehidupan yang lebih baik bagi keluarga mereka.

AGRA juga telah mendukung pendirian ribuan bisnis pertanian Afrika lokal termasuk memelihara 112 perusahaan benih Afrika yang telah melipatgandakan produksi benih lokal dari 2.000 metrik ton pada 2007 hingga mendekati 800.000 metrik ton pada 2017.

Sampai di sini cukup jelas, pengalaman Afrika memperbaiki beberapa item mendasar sektor pertanian, bisa jadi rujukan aktual terkait program ruralisasi serta bahan pembanding bagi sejumlah negara, khususnya negara berkembang, menuju tata kelola baru masyarakat global pasca Pandemi Covid-19.

Menurut aktivis lingkungan dunia yang juga seorang penulis asal Kanada, Naomi Klein, saat ini merupakan momentum bagi masyarakat sipil maupun pejabat negara untuk mendesakkan tata kelola baru masyarakat di tingkat global.

Penulis buku The Shock Doctrine dan guru besar Universitas Toronto ini mengungkapkan, situasi dunia yang saat ini menghadap krisis akibat pandemi memerlukan kebijakan ekonomi dan politik yang tidak biasa, membuka alternatif solusi jitu untuk mengoreksi metode atau pendekatan lama.

Para pemimpin dunia harus saling membuka diri untuk menerima gagasan-gagasan baru menghadapi terjangan pandemi yang secara ekonomi mirip setelah perang dunia.

Pada akhirnya sangat masuk akal bila beberapa negara akan saling berlomba dan berinisiatif mengembalikan kondisi perekonomian masing-masing dengan pendekatan-pendekatan baru yang lebih baik, lebih kuat, mendapat dukungan rakyat atau malah tumbuh dari bawah, pro local go global serta memperkuat jaringan kerja sama dengan berbagai pemangku kepentingan secara strategis dan sinergis hingga berkelanjutan.(Riswan)

Sumber:KOMPAS.com


Home